Selasa, Juni 02, 2009

ARBITRASE dan ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

ARBITRASE dan ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
PENGATURAN:
UU NO. 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ADR
PASAL 130 HIR DAN 154 RBg: PERMA NO. 1 TAHUN 2008
PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN



PENGERTIAN :
• ARBITRASE: CARA PENYELESAIAN SENGKETA DI LUAR PENGADILAN DENGAN MEMINTA BANTUAN ARBITER YANG MEMILIKI KEWENANGAN MEMUTUS .

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA :
• = ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION:
• BENTUK ATAU CARA –CARA PENYELESAIAN SENGKETA SECARA SAH SELAIN DARIPADA PENGADILAN DAN ARBITRASE.

JENIS-JENIS ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA :
• NEGOSIASI
• MEDIASI
• PENDAPAT AHLI

NEGOSIASI:
• PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI PERUNDINGAN LANGSUNG PARA PIHAK YANG BERSENGKETA TANPA DIBANTU OLEH PIHAK LAIN

MEDIASI:
• PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI PERUNDINGAN DENGAN DIBANTU OLEH PIHAK NETRAL, YAITU MEDIATOR YANG TIDAK MEMILIKI KEWENANGAN MEMUTUS

PENDAPAT AHLI:
• PARA PIHAK DALAM SUATU PERJANJIAN BERHAK UNTUK MEMOHON PENDAPAT YANG MENGIKAT DARI LEMBAGA ARBITRASE ATAS HUBUNGAN HUKUM TERTENTU DARI SUATU PERJANJIAN (PASAL 52 UU NO. 30 THN1999)

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN
CIRI PENGADILAN ARBITRASE NEGOSIASI MEDIASI PENDAPAT AHLI
FORMALITAS SANGAT FORMAL AGAK FORMAL TIDAK FORMAL TIDAK FORMAL TIDAK FORMAL
SIFAT PROSES PERTIKAIAN PERTIKAIAN KONSENSUS KONSENSUS EVALUASI
PIHAK KETIGA ADA, HAKIM ADA, ARBITER TIDAK ADA ADA, MEDIATOR ADA, AHLI
TERBUKA/ TERTUTUP TERBUKA TERTUTUP TERTUTUP TERTUTUP TERTUTUP
HASIL AKHIR PUTUSAN PUTUSAN BUNTU/ SEPAKAT BUNTU/ SEPAKAT PENDAPAT




PENGGUNAAN ARBITRASE :
• DIDASARKAN PADA KLAUSULA ARBITRASE DALAM SEBUAH PERJANJIAN TERTULIS/KONTRAK ATAU SETELAH TIMBUL SENGKETA (PASAL 1 BUTIR 1 DAN 2, PASAL 9 UU NO. 30 THN 1999)

ARBITRASE :
• “Pengadilan swasta”; proses peradilan secara swasta/privat atau ditentukan sendiri oleh para pihak;
• Sengketa akan diputus oleh arbiter (hakim swasta);
• Keberadaan arbitrase dan ruang lingkup sengketa yang dapat diarbitrasekan didasarkan atas perjanjian arbitrase;
• Kewenangan pengadilan untuk mengadili dikesampingkan dengan perjanjian arbitrase;
• Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

PERJANJIAN ARBITRASE :
• HARUS TERTULIS ATAU DENGAN AKTA NOTARIS
• ISI (mutlak):
a. Masalah yang dipersengketakan
b. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak.
c. Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter/majelis aribtrase
d. Tempat arbiter atau majelis arbirase akan mengambil putusan.
e. Nama lengkap sekretaris.
f. Jangka waktu penyelesaian sengketa
g. Pernyataan kesediaan arbiter
h. Pernyataan kesediaan para pihak utk menanggung segala biaya untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrse.
(pasal 9 uu no. 30 thn 1999).

PERJANJIAN ARBITRASE TIDAK MENJADI BATAL KARENA:
a. Meninggal salah satu pihak.
b. Bangkrut salah satu pihak
c. Novasi.
d. Insolvensi salah satu pihak.
e. Perwarisan
f. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan arbitrase.

SYARAT-SYARAT ARBITER :
a. CAKAP MELAKUKAN TINDAKAN HUKUM.
b. BERUMUR PALING RENDAH 35 TAHUN.
c. TIDAK MEMPUNYAI HUBUNGAN KELUARGA SEDARAH ATAU SEMENDA SAMPAI DENGAN DERAJAD KEDUA DGN PARA PIHAK.
d. TIDAK MEMPUNYAI KEPENTINGAN FINANSIAL ATAU KEPENTINGA LAIN ATAS KEPUTUSAN ARBITRASE.
e. MEMILIKI PENGALAMAN PALING SEDIKIT 15 TAHUN.
f. HAKIM, JAKSA DAN PANITERA TIDAK DAPAT DITUNJUK SEBAGI ARBITER.

KARAKTER ARBITRASE :
• Para pihak mempunyai kontrol yang besar atas proses arbitrase.
• Kesempatan mengajukan bantahan dan alat-alat bukti.
• Aturan pembuktian lebih informal.
• Persidangan bisa melalui konperensi telepon atau video atau dokumen saja.
• Masalah pertanggungjawaban (liability) dapat diperiksa terpisah dengan masalah jumlah ganti rugi; atau masalah hukum diperiksa dan diputuskan terlebih dahulu.
• Para pihak dapat meminta klarifikasi/penjelasan, koreksi, atau putusan tambahan atas putusan yang dijatuhkan.
JENIS ARBITRASE
• ADHOC
Arbitrase perorangan/insidentil; non-administered; arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus sengketa tertentu. Setelah sengketa diputus, keberadaan dan fungsi arbitrase tersebut lenyap dan berakhir dengan sendirinya

ARBITRASE MELEMBAGA (INSTITUTIONALIZED)
Sengketa akan diselesaikan oleh suatu lembaga/badan arbitrase menurut peraturan acara yang sudah ada, kecuali ditentukan lain oleh para pihak. Lembaga/badan arbitrase sudah ada sebelum sengketa timbul, dan tetap berdiri atau tidak bubar meskipun sengketa yang ditangani selesai diputus.
• Contoh: BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) dan BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia)

KELEBIHAN ARBITRASE MELEMBAGA :
• Mengawasi dan menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk membantu kelancaran penyelenggaraan proses arbitrase;
• Menyediakan daftar arbiter (yang mempunyai keahlian di berbagai bidang, di berbagai negara, dan menguasai berbagai bahasa);
• Menyediakan peraturan acara arbitrase yang lengkap dan sudah teruji;
• Membantu penanganan masalah administrasi yang berkaitan dengan proses arbitrase (mis. Biaya arbiter, biaya administrasi perkara);
• Membantu agar putusan arbitrase yang dijatuhkan berkualitas dan dapat dilaksanakan;
• Putusan arbitrase yang dijatuhkan biasanya memperoleh penghargaan/ penghormatan yang lebih besar dibandingkan putusan arbitrase ad hoc.

ACARA ARBITRASE (UU NO. 30 TAHUN 1999) :
• PENUNJUKAN ARBITER/MAJELIS ARBITER OLEH PARA PIHAK/KETUA PN
• PEMERIKSAAN DILAKUKAN SECARA TERTULIS, ATAU LISAN ATAS PERSETUJUAN PARA PIHAK
• PEMOHON MENYAMPAIKAN KEPADA ARBITER/MAJELIS ARBITER SURAT TUNTUTAN YG MEMUAT: (a) NAMA LENGKAP DAN TEMPAT TINGGAL ATAU KEDUDUKAN PARA PIHAK. (b) URAIAN SINGKAT TTG SENGKETA DISERTAI LAMPIRAN BUKIT-BUKTI (c) ISI TUNTUTAN
• ARBITER MENYAMPAIKAN SATU SALINAN SURAT TUNTUTAN KPD TERMOHON DGN DISERTAI PERINTAH UNTUK MEMBERIKAN JAWABAN TERTULIS DALAM WKT PLG LAMA 14 HARI SEJAK DITERIMA SALINAN TUNTUTAN.
• ARBITER MENYERAHKAN SALINAN JAWABAN TERMOHON DISERAHKAN KPD PEMOHON
• ARBITER MEMINTA PARA PIHAK MENGHADAP SIDANG ARBITRASE.
• DALAM HAL TERMOHON SETELAH 14 HARI TIDAK MENYAMPAIKAN JAWABAN, TERMOHON DIPANGGIL MENGHADAP SIDANG ARBITRASE.
• TERMOHON MELALUI JAWABANNYA ATAU DALAM SIDANG PERTAMA DAPAT MENGAJUKAN TUNTUTAN BALASAN
• PEMOHON MENANGGAPI TUNTUTAN BALASAN
• JIKA PADA SIDANG PERTAMA, SETELAH DIPANGGIL SECARA PATUT, PEMOHON TIDAK HADIR TANPA ALASAN YANG SAH, SURAT TUNTUTAN DINYATAKAN GUGUR.
• JIKA PADA SIDANG PERTAMA SETELAH DIPANGGIL SECARA PATUT, TERMOHON TIDAK HADIR TANPA ALASAN YANG SAH, TERMOHON DIPANGGIL SEKALI LAGI.
• JIKA SETELAH PEMANGGILAN KEDUA, TERMOHON TIDAK HADIR TANPA ALASAN YANG SAH, PEMERIKSAAN DILANJUTKAN TANPA KEHADIRAN TERMOHON DAN TUNTUTAN PEMOHON DIKABULKAN KECUALI TUNTUTAN ITU TIDAK BERALASAN ATAU TIDAK BERDASARKAN HUKUM.
• JIKA PADA SIDANG PERTAMA, PARA PIHAK HADIR, ARBITER USAHAKAN PERDAMAIAN
• DALAM HAL PERDAMAIAN TIDAK TERCAPAI, PEMERIKSAAN POKOK PERKARA DIMULAI.
• PARA PIHAK DIBERI KESEMPATAN TERAKHIR KALI UNTUK SECARA TERTULIS MENJELASKAN PENDIRIANNYA DAN MENGAJUKAN ALAT-ALAT BUKTI.
• SEBELUM ADA JAWABAN TERMOHON, PEMOHON DIBOLEHKAN MENCABUT SURAT PERMOHONAN.
• DALAM HAL TELAH ADA JAWABAN TERMOHON, PERUBAHAN/PENAMBAHAN TUNTUTAN HANYA DIPERBOLEHKAN ATAS PERSETUJUAN TERMOHON DAN HANYA TENTANG FAKTA-FAKTA SAJA.
• ATAS PERINTAH ARBITER ATAO PARA PIHAK SAKSI AHLI DAPAT DIHADIRKAN ATAS BEBAN PARA PIHAK/ PIHA YANG MEMINTA.
• SAKSI AHLI SEBELUM BERI KETERANGAN DIAMBIL SUMPAH.
• SIDANG ARBITRASE BERLANGSUNG PALING LAMA 180 HARI SEJAK ARBITER/MAJELIS ARBITER DIBENTUK DAN DAPAT DIPERPANJANG.
• ARBITER/MAJELIS ARIBTER BERWENANG MEMBUTA PUTUSAN PROVISIONIL/SELA, MISAL SITA JAMINAN, PENITIPAN BARANG KPD PIHAK KETIGA.
• PEMERIKSAAN TELAH SELESAI, DITUTUP DAN DITETAPKAN HARI SIDANG PENGUCAPAN PUTUSAN ARBITRASE.

PUTUSAN ARBITRASE HARUS MEMUAT:
a. kepala putusan yang berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
b. NAMA LENGKAP DAN ALAMAT PARA PIHAK.
c. URAIAN SINGKAT SENGKETA.
d. PENDIRIAN PARA PIHAK.
e. NAMA LENGKAP DAN ALAMAT ARBITER.
f. PERTIMBANGAN DAN KESIMPULAN ARBITER MENGENAI KESELURUHAN SENGKETA.
g. PENDAPAT TIAP ARBITER DLM HAL TERJADI PERBEDAAN PENDAPAT.
h. AMAR PUTUSAN.
i. TEMPAT DAN TANGGAL PUTUSAN.
j. TANDA TANGAN ARBITER.

PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE :
• 30 HARI SEJAK TGL PENGUCAPAN PUTUSAN, SALINAN OTENTIK PUTUSAN ARBITRASE DISERAHKAN DAN DIDAFTARKAN OLEH ARBITER KEPADA PANITERA PENGADILAN NEGERI.
• PANITERA PN MEBUAT PENCATATAN ATAU PENANDATANGANAN PADA BAGIAN AKHIR PUTUSAN ATAU DIPINGGIRNYA
• ARBITER/KUASANYA MENYERAHKAN PUTUSAN DAN LEMBAR ASLI PENGANGKATAN SEBAGAI ARBITER KPD PANITERA PN.

MEDIASI :
MEDIASI DI LUAR PENGADILAN: DIGUNAKAN UNTUK MENYELESAIKAN SENGKETA-SENGKETA YANG BELUM SAMPAI KE PENGADILAN SECARA SUKARELA BERDASARKAN KETENTUAN UU MISALKAN UU LINGKUNGAN HIDUP, UU KEHUTANAN, UU HAM, ATAU ATAS DASAR KEBIJAKAN, MISALKAN PERATURAN BI NO. 8/5/PBI/2006.

MEDIASI TERINTEGRASI DENGAN PENGADILAN :
DASAR HUKUM PASAL 130 HIR 154 RBg, dan PERMA NO. 1 TAHUN 2008


PERMA NO 1 THN 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan :
• Berlaku Wajib di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama
• Semua sengketa perdata kecuali yang diselesaikan pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan BPSK dan putusan KPPU.
• Pada sidang pertama yang dihadiri lengkap para pihak, majelis hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi.

Para Pihak Berhak Memilih Mediator (Pasal 8)
Pilihan-pilihan berikut:
a. Hakim bukan pemeriksa perkara;
b. Advokat atau akademisi hukum;
c. Profesi bukan hukum
d. Hakim majelis pemeriksa perkara;
e. Gabungan

Mediator ditunjuk (Pasal 11) :
• Para pihak diberi waktu 3 hari kerja untuk memilih mediator.
• Jika tidak mampu, Ketua Majelis hakim menunjuk hakim bukan pemeriksa perkara yang bersertifikat sebagai mediator.
• Jika tidak ada hakim bukan pemeriksa perkara yang bersertifikat, Ketua Majelis menunjuk hakim pemeriksa perkara sebagai mediator.

SERTIFIKASI MEDIATOR(Pasal 6) :
• Pada asasnya tiap mediator (hakim dan bukan hakim)harus bersertifikat.
• Jika dalam sebuah Pengadilan tidak ada mediator bersertifikat, hakim berwenang menjadi mediator walau tanpa sertifikat.
• Sertifikat diperoleh setelah mengikuti pelatihan oleh lembaga yang diakreditasi MARI.

DAFTAR MEDIATOR (PASAL 9) :
• Tiap Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama menyediakan daftar mediator: sekurang-kurangnya lima mediator.
• Mediator bukan hakim yang bersertifikat mengajukan permohonan tertulis kepada Ketua PN dan PA agar namanya ditempatkan dalam daftar mediator.
• Ketua PN dan PA mengevaluasi daftar mediator tiap tahun.
• Ketua PN dan PA berwenang mengeluarkan nama mediator dari daftar karena alasan: mutasi tugas, berhalangan tetap, etidakaktifan, dan pelanggaran pedoman perilaku.

Honorarium (Pasal 10) :
• Mediator hakim tanpa biaya.
• Mediator bukan hakim ditanggung para pihak berdasarkan kesepakatan.

Prinsip-Prinsip Proses Mediasi :
• Bersifat tertutup , kecuali para pihak menghendaki lain (Pasal 6).
• Menempuh proses mediasi dengan iktikad baik (Pasal 12 ayat 1).
• Salah Satu pihak dapat mundur jika pihak lawan tidak beriktikad baik (Pasal 12 ayat 2).
• Pengakuan dan pernyataan dalam proses mediasi tidak dapat jadi alat bukti dalam litigasi jika mediasi gagal perkara lanjut ke litigasi (Pasal 19 ayat (1).
• Catatan Mediator wajib dimusnahkan (Pasal 19 ayat (2).
• Mediator tidak boleh menjadi saksi dalam persidangan perkara ybs (Pasal 19 ayat (3).
• Mediator tidak dapat dikenai tanggungjawab pidana dan perdata atas isi kesepakatan perdamaian (Pasal 19 ayat 4).
• Boleh ada Kaukus: Pertemuan Mediator dengan salah satu pihak saja (Pasal 15 ayat (3).





Keterlibatan Ahli (Pasal 16) :
• Kekuatan Pandangan ahli diserhakan kepada para pihak.
• Biaya ahli ditanggung para pihak atas dasar kesepakatan.

Mencapai Kesepakatan (Pasal 17) :
• Kesepakatan perdamaian dirumuskan tertulis.
• Jika dalam proses mediasi, para pihak diwakili kuasa hukum, harus ada persetujuan tertulis prinsipal/pihak materiil.
• Mediator memeriksa isi kesepakatan untuk menghindari kesepakatan yang bertentang dengan hukum, tidak dapat dieksekusi, atau tidak iktikad baik.
• Para pihak menghadap hakim kembali memberitahu kesepakatan perdamaian.
• Para pihak dapat meminta kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian.
• Jika tidak menghendaki akta perdamaian, harus memuat klausula pencabutan gugatan/Perkara berakhir.

Tidak Mencapai Kesepakatan (Pasal 18 ) :
• Setelah 40 hari kerja kesepakatan damai tidak dicapai, mediator menyatakan mediasi gagal (Pasal 18).
• Mediator berwenang menyatakan mediasi gagal jika salah satu pihak dua kali turut-turut tidak hadir dalam pertemuan mediasi (Pasal 14 ayat (1).
• Mediator menyatakan mediasi tidak layak jika perkar terkait dengan pihak lain yang tidak terlibat dalam proses mediasi (Pasal 14 ayat (2).

Tempat Mediasi (Pasal 20) :
• Mediator hakim hanya boleh memediasi perkara di ruang yang tersedia di Pengadilan.
• Mediator bukan hakim boleh memediasi di Pengadilan dan di luar Pengadilan.
• Jika di luar Pengadilan, biaya ditanggung para pihak.

Perdamaian Tingkat Banding, Kasasi, dan PK (Pasal 21) :
• Atas kesepakatan para pihak, perdamaian dapat ditempuh dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Ketua PN/PA yang mengadili perkara ybs.
• Jika perkara sudah diperiksa di tingkat banding, kasasi atau PK, hakim banding, hakim kasasi, hakim PK, wajib menunda pemeriksaan selama 14 hari kerja sejak diterimanya kehendak para pihak berdamai
• Jika berkas dan memori banding, kasasi atau PK belum dikirimkan, Ketua PN/PA wajib menunda pengiriman berkas-berkas.
• Jika para pihak menghendaki mediator, Ketua PN/PA menunjuk seorang hakim/lebih.
• Perdamaian dilaksanakan di PN/PA yang berwenang atau di tempat lain yang disepakati para pihak.
• Hakim pemeriksa perkara tingkat pertama tidak boleh menjadi mediator, kecuali tidak ada haki lainnya.

(Pasal 22) :
• Jika dicapai kesepakatan damai, dapat diajukan ke hakim banding, hakim kasasi dan hakim PK untuk memperoleh akta perdamaian.
• Hakim banding, hakim kasasi atau hakim PK dalam waktu 30 hari kerja menyiapkan akta perdamaian.

Kesepakatan di Luar Pengadilan (Pasal 23) :
• Kesepakatan Perdamaian di luar Pengadilan dapat dikuatkan dengan akta perdamaian oleh hakim.
• Kesepakatan damai itu harus difasilitasi oleh mediator yang bersertifikat.
• Salah satu pihak mengajukan gugatan dengan melampirkan kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen terkait.

• Hakim dapat menguatkan kesepakatan perdamaian dengan akta perdamaian jika kesepakatan perdamaian itu memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Sesuai kehendak para pihak;
b. Tidak bertentnagn dengan hukum;
c. Tidak merugikan pihak ketiga.
d. Dapat dieksekusi.
e. Dengan iktikad baik.

TIPE PERUNDINGAN :
• PERUNDINGAN BERDASARKAN POSISI (POSITIONAL-BASED NEGOTIATION). POSISI: APA YANG DITUNTUT/DIKEHENDAKI DAN APA YANG DITOLAK.
• PERUNDINGAN BERDASARKAN KEPENTINGAN (INTEREST-BASED NEGOTIATION). KEPENTINGAN: SUBSTANTIF, PROSEDURAL DAN PSIKOLOGIS

PERUNDINGAN BERDASARKAN POSISI :
• BERSIFAT LUNAK (SOFT)
• BERSIFAT ALOT/LIAT (HARD)


PERBANDINGAN ANTARA PERUNDINGAN LUNAK DAN LIAT :
LUNAK LIAT
PARA PERUNDING ADALAH TEMAN PARA PERUNDING ADALAH LAWAN
TUJUAN UNTUK MENCAPAI KESEPAKATAN TUJUAN SEMATA-MATA MENCAPAI KEMENANGAN
MAU MEBERI KONSESI DEMI HUBUNGAN BAIK LEBIH BANYAK MENUNTUT KONSESI
BERSIKAP BAIK PADA LAWAN RUNDING DAN LUNAK TERHADAP SENGKETA BERSIKAP KERAS TERHADAP LAWAN RUNDING DAN JUGA THD SENGKETA

























PERUNDINGAN BERDASARKAN KEPENTINGAN :
• PARA PERUNDING ADALAH PEMECAH MASALAH.
• TUJUAN UNTUK MENCAPAI KESEPAKATAN YANG MENCERMINKAN KEBUTUHAN PARA PIHAK.
• MEMISAHKAN ANTARA ORANG DAN MASALAH
• LUNAK TERHADAP ORANG, TETAPI KERAS PADA MASALAH.
• KEPERCAYAAN DIBANGUN ATAS DASAR SITUASI.
• FOKUS PADA KEPENTINGAN BUKAN POSISI.
• CARI DAN BUAT PILIHAN-PILIHAN PENYELESAIAN UNTUK TIAP MASALAH.
• BAHAS PILIHAN-PILIHAN SECARA INTENSIF SEBELUM MEMBUAT KEPUTUSAN.
• BERPEGANG PADA KRITERIA OBJEKTIF: PRAKTIK DALAM MASYARAKAT, NILAI PASAR, UKURAN ILMIAH, UKURAN PROFESSIONAL, HUKUM.
• MENGGUNAKAN ARGUMENTASI DAN ALASAN, TERBUKA THD ARGUMENTASI LAWAN.


TAHAP-TAHAP PROSES MEDIASI :
• MENJALIN HUBUNGAN DENGAN PARA PIHAK.
• MEMILIH STRATEGI MEDIASI
• MENYUSUN RENCANA MEDIASI
• MEMBANGUN KEPERCAYAAN PARA PIHAK.
• MEMULAI SIDANG MEDIASI
• MERUMUSKAN MASALAH DAN MENYUSUN AGENDA
• MENGUNGKAPKAN KEPENTINGAN TERSEMBUNYI PARA PIHAK.
• MEMBANGKITKAN PILIHAN-PILIHAN PENYELESAIAN MASALAH.
• MENGANALISIS PILIHAN-PEILIHAN
• PROSES TAWAR MENAWAR
• MENCAPAI PENYELESAIAN FORMAL.

Jumat, April 03, 2009

Galerry WorkShop Pendalaman Hukum












GALLERY

WORKSHOP

PENDALAMAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA,

HUKUM MATERIL, POLA BINDALMIN DAN MEDIASI

BAGI HAKIM DAN PEJABAT KEPANITERAAN DI LINGKUNGAN PENGADILAN TINGGI AGAMA PADANG

BUKITTINGGI, 31 MARET S/D 1 APRIL 2009

Pengumuman

PENGUMUMAN


Terhitung Mulai Tanggal 23 Maret 2009 Pengadilan Agama Bukittinggi pindah menempati Kantor Baru di Komplek Perkantoran Walikota Bukitinggi di Jalan Kusuma Bakti - Gulai Bancah Bukittinggi

Selasa, Februari 10, 2009

PA & Sengketa Ekonomi Syari’ah

Peradilan Agama dan Sengketa Ekonomi Syari’ah

Perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah tumbuh pesat di Indonesia, seperti perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal dengan instrumennya obligasi dan reksadana syariah, pegadaian syariah, dana pensiun syariah, lembaga keuangan mikro syariah, dll. Menurut data Bank Indonesia (Mei 2005), jumlah nasabah /deposan perbankan syariah lebih dari 2 juta orang, sedangkan jumlah nasabah pembiayaan sekitar 300.000an orang. Data itu belum termasuk nasabah asuransi, pegadaian, pasar modal dan dana pensiun syariah. Juga belum termasuk nasabah Baitul Mal wat Tamwil yang mencapai dari 3 juta orang. Dengan banyaknya masyarakat Indonesia yang beraktivitas dalam ekonomi syariah, maka sangat dimungkinkan terjadinya sengketa hukum di bidang ekonomi syariah.Jika terjadi perselisihan antara para pihak, selama ini kasusnya selama ini diselesaikan di Pengadilan Umum, atau Badan Arbitrase Syariah, bukan Pengadilan Agama. Artinya, sebelum keluarnya UU No 3/2006, tentang Peradilan Agama perkara-perkara yang menyangkut peralihan harta atau kebendaan dan perjanjian yang bersifat bisnis masih menjadi kewenangan Pengadilan Negeri, dikarenakan kewenangan Pengadilan Agama masih sangat terbatas. Pasal 49, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama hanya menentukan bidang-bidang tertentu saja yang menjadi kewenangan (kompetensi absolut) Pengadilan Agama, yaitu bidang: Perkawinan, Kewarisan (yang meliputi juga wasiat dan hibah) dan Wakaf dan Shadaqah. Karena itulah UU Nomor 7/1989 diamandemen pemerintah dan DPR dengan Undang-Undang yang baru yakni UU No 3/2006. Dalam pertimbangan amandemen Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa Peradilan Agama dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat, karena itu perlu lakukan amandemen.Pada pasal 49 point i disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara ortang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah. Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi : a. Bank syariah, b. Lembaga keuangan mikro syari’ah, c. Asuransi syari’ah, d. Reasurasi syari’ah, e. Reksadana syari’ah, f. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, g. Sekuritas syariah, h. Pembiayaan syari’ah, i. Pegadaian syari’ah, j. Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah k. Bisnis syari’ah. Amandemen ini membawa implikasi baru dalam sejarah hukum ekonomi di Indonesia. Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene belum bisa dianggap sebagai hukum syari’ah. Pengadilan Negeri bisa disebut sebagai Pengadilan konvensional. Maka sangat aneh, jika masalah syariah diselesaikan secara konvensional, bukan secara syariah. Dalam prakteknya, sebelum amandemen UU No 7/1989 ini, penegakkan hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut mengacu pada ketentuan KUH Perdata yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW), kitab Undang-undang hukum sipil Belanda yang dikonkordansi keberlakuannya di tanah Jajahan Hindia Belanda sejak tahun 1854 ini, sehingga konsep perikatan dalam Hukum Islam tidak lagi berfungsi dalam praktek formalitas hukum di masyarakat, tetapi yang berlaku adalah BW.Secara historis, norma-norma yang bersumber dari hukum Islam di bidang perikatan (transaksi) ini telah lama memudar dari perangkat hukum yang ada akibat politik Penjajah yang secara sistematis mengikis keberlakuan hukum Islam di tanah jajahannya, Hindia Belanda. Akibatnya, lembaga perbankan maupun di lembaga-lembaga keuangan lainnya, sangat terbiasa menerapkan ketentuan Buku Ke tiga BW (Burgerlijk Wetboek) yang sudah diterjemahkan. Sehingga untuk memulai suatu transaksi secara syariah tanpa pedoman teknis yang jelas akan sulit sekali dilakukan.Amandemen ini memang dirasakan sangat penting, mengingat perkembangan lembaga keuangan syari’ah bergerak cepat, seperti perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, pasar modal syari’ah, lembaga keuangan mikro syariah (BMT), pergadaian syari’ah, dsb. Selama ini, banyak kasus sengketa ditangani oleh Basan Arbitrase Syariah Nasioal (Basyarnas), sesuai dengan akad di lembaga keuangan syariah. Nasabah dan lembaga perbankan secara ”terpaksa” harus memilih lembaga Basyarnas untuk menyelesaikannya. Setiap draft kontrak syariah telah memuat klausul Basyarnas. Keharusan ke Basyarnas karena belum dikeluarkannya UU No3/2007. Tetapi setelah keluarnya Undang-Undang tersebut, harus dibuka peluang seluas-luasnya kepada Pengadilan Agama untuk menadilinya, sehingga tidak menjadi monopoli Basyarnas.Selain itu, sering pula ditemukan redaksi akad yang membuka dualisme hukum yang sangat menyesatkan. Banyak bank-bank yang syariah yang menyebutkan dalam akadnya, bahwa jika terjadi perselisihan akan diselesaikan oleh lembaga arbitrase syariah atau Pengadilan Negeri. Hal ini menyesatkan, karena jika para pihak sudah menentukan dan memilih lembaga arbitrase, maka sudah tertutup peluang kepada Pengadilan Negeri. Pilihan tersebut harus tegas, apakah arbitrase atau pengadilan Negeri. Jika para pihak memilih pengadilan Negeri, hal inipun tidak tepat, tidak relevan dan jelas tidak sesuai syariah. Dengan keluarnya UU No 3/2006, kasus sengketa ekonomi syariah harus diselesaikan di Pengadilan Agama, kecuali para pihak sepakat diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Satu hal lagi yang menjadi catatan penting adalah masalah eksekusi. Selama ini eksekusi keputusan arbitrase dilakukan oleh Pengadilan Negeri, bukan Pengadilan Agama (Syariah). Ketentuan ini sesuai dengan Undang-Undang Arbitrase No 30 Tahun 1999. Realita ini seharusnya diubah, pasca keluarnya UU No 3/2006. Dengan kata lain, Undang-Undang arbitrase harus diamandemen.Lahirnya UU No 3 Tahun 2006 ini juga membawa implikasi besar bagi seluruh redaksi akad di lembaga perbankan dan keuangan syari’ah saat ini. Selama ini dalam setiap akad di lembaga ekonomi syariah tercantum sebuah klausul yang berbunyi, “ Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Dengan amandemen ini maka klasul tersebut seharusnya dihapuskan dan seluruh format transaksi di bank dan lembaga keuangan syariah. harus diubah.Klausul tersebut juga terdapat pada Peraturan Bank Indonesia saat ini dan seluruh fatwa DSN MUI. Dalam fatwa DSN MUI dan PBI disebutkan, bahwa penyelesaian sengketa diselesaikan oleh Badan Arbitrase Syari’ah. Maka dengan amandemen ini, bunyi redaksi DSN MUI dan PBI yang menyebutkan peranan Badan Arbitrase seharusnya dihapus, karena telah ada Pengadilan Agama yang berwenang mengadilinya. Namun demikian, Badan Arbitrase tidak serta kehilangan peran, sebab jika para phak memilih badan ini menyelesaikan kasusnya, maka hal itu dibenarkan. Pencantuman lembaga atbitrase syariah di fatwa DSN dan PBI untuk menyelesaikan sengketa syariah dapat dimaklumi, karena selama ini belum ada Undang-Undang No 3/2006. Tetapi, setelah Undang-Undang No3/2006 lahir, maka lembaga yang menyelesaikan kasus sengketa syariah tidak lagi monopoli lembaga arbitrase. Kecuali para pihak sejak awal memang sepakat memilih Lembaga Badan Abitrase.Klausul keharusan penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase adalah sebuah kesalahan fatal. Sama fatalnya, jika setiap transaksi bisnis non syariah harus diselesaikan melalui lembaga arbitrase konvensional yang disebut BANI, bukan Pengadilan Umum. Silakan lihat bunyi klausul kontrak bisnis konvensonal, apakah semuanya ada klausul diselesaikan lembaga Arbitrase,? Dan tertutup bagi pengadilan?.Jawabannya jelas tidak. Karena itu, hal yang sama harus diterapkan juga di dalam bunyi kontrak syariah.Lima MasukanDengan keluarnya UU No 3/2006, ada lima masukan kritis dan evaluatif yang perlu menjadi perhatian.Pertama, jika terjadi sengketa di bidang ekonomi syari’ah, penyelesaian perkaranya tidak boleh dibatasi (dikunci) hanya oleh lembaga arbitrase syariah (BASYARNAS). Sehubungan dengan itu bunyi klausul seluruh akad di lembaga keuangan syariah, bunyi fatwa DSN dan PBI yang mengharuskan penyelesaian sengketa dilakukan oleh badan Arbiotrase Syariah nasional, hendaknya dihilangkan. Kedua, Oleh karena seluruh perselisihan di bidang ekonomi syariah menjadi wewenang Peradilan Agama, maka seluruh hakim agama yang selama ini hanya memahami hukum-hukum keluarga (al-ahwal asy-syakhsyiah) perlu memahami hukum-hukum tentang perbankan dan lembaga keuangan syariah lainnya. Untuk itu perlu dilaksanakan pelatihan dan workshop ekonomi syariah bagi hakim di lingkungan Peradilan Agama. Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) siap melakukannya bekerjasama dengan Mahkamah Agung untuk melakukan Workshop dan Training tersebut.Ketiga, Dalam RUU Perbankan Syariah dan RUU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang akan segera disahkan harus dimasukkan sebuah pasal yang menyebutkan, bahwa jika terjadi perselisihan dalam masalah perbankan syariah, harus diselesaikan di Peradilan Agama. Jadi bukan di pengadilan Umum atau Badan Arbitrase. DPR jangan sempat melupakan klausul ini agar kedua Undang-Undang tersebut sinkron dan tidak bertentanganKeempat, dengan disahkannya UU No3/2006 ini, maka semua perundang-undangan yang terkait harus menyesuaikan (diamandemen), walaupun pasal yang diamendemen hanya satu pasal. Undang-Undang yang perlu dimandemen tersebut antara lain :

1. Undang-Undang Arbitrase,
2. Undang-Undang Pasar Modal,
3. Undang-Undang tentang Asuransi,
4. Undang-Undang tentang Pegadaian,
5. Undang-Undang No 17/2000 tentang PPn, dsb.
6. Undang-Undang Resi Gudang,dsb

Kelima, diperlukan perubahan (penambahan) materi Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang ada. Selama ini KHI hanya berisi tiga bidang hukum Islam, yaitu perkawinan, Warisan dan Waqaf. KHI yang menjadi rujukan hukum para hakim agama itu perlu menambah materi hukum ekonomi Islam (muamalah).
Post DIPOSTING OLEH Agustianto | April 3, 2008

Wacana 'berdialog' dengan scanner barcode"

Mendapatkan Informasi Perkara Semudah Cek Harga di Mall

Wonosari | badilag.net (9/1)

Image“Ternyata mendapatkan informasi perkara itu mudah,” itulah sepenggal testimoni yang disampaikan seorang pencari keadilan di PA Wonosari, sebut saja Sutini, sesaat setelah mengoperasikan layanan informasi perkara melalui barcode (kode batang). Meskipun Sutini tidak bisa mengoperasikan komputer namun ia tidak mendapatkan kesulitan ketika mengoperasikan informasi perkara dengan sistem barcode. Dengan mendekatkan selembar kertas yang memuat simbol barcode ke arah scanner barcode, informasi seputar perkara yang sedang dijalaninya muncul di layar komputer. "mudah sekali, seperti cek harga di Mall atau supermarket", akunya dengan penuh kebanggaan.

Teknologi yang sudah populer inilah yang dikembangkan oleh Pengadilan Agama Wonosari untuk meningkatkan pelayanan kepada pencari keadilan. Masyarakat awam yang kebanyakan tidak akrab dengan perangkat komputer, namun mereka minimal pernah melihat fungsi barcode. Manfaat lain, sistem barcode juga terbukti efektif untuk mencegah para pihak berhubungan langsung dengan pejabat pengadilan."Untuk mengetahui informasi perkara para pihak cukup 'berdialog' dengan scanner barcode", ungkap Panitera PA Wonosari melalui surat elektronik kepada badilag.net

Barcode dan kelengkapannya

Barcode atau kode batang adalah suatu kumpulan data optik yang dibaca mesin. Sebenarnya kode batang ini mengumpulkan data dalam lebar (garis) dan spasi garis parallel. Barcode biasanya digunakan oleh kasir di swalayan atau supermarket untuk mempermudah dan mempercepat proses pendeteksian suatu barang. Simbol barcode dicetak di produk-produk yang dijual pihak swalayan atau supermarket. Dalam perkembangannya barcode tidak hanya digunakan di swalayan atau supermarket, namun juga untuk keperluan lain. Dibidang kependudukan misalnya, di beberapa daerah barcode sudah mulai di cetak di Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Bagi PA-PA yang sudah menerapkan aplikasi SIADPA (Sistem Informasi dan Administrasi Perkara Pada Pengadilan Agama) tidak perlu membuat dan merancang barcode karena program ini sudah tersedia dalam aplikasi SIADPA versi terbaru.

Untuk bisa memanfaatkan barcode informasi perkara diperlukan alat kelengkapan sebagai berikut: Pertama, seperangkat komputer (client) yang terhubung dengan aplikasi SIADPA. Barcode informasi perkara hanya terdapat di aplikasi SIADPA versi terbaru. Aplikasi SIADPA terbaru dapat diunduh (download) di www.pengadilan.net.

Kedua, barcode dicetak dalam kertas tertentu. Untuk mempermudah para pihak dalam mengakses informasi, maka barcode dapat dicetak di SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar), relaas panggilan ataupun kertas khusus. Cara memasukkan simbol barcode cukup dengan mengetik kode #BAR_CODE# pada master blanko (dokument SKUM atau relaas panggilan). Sedangkan untuk melihat tampilan simbol barcode yaitu dengan menjalankan aplikasi SIADPA dan melakukan preview pada dokument yang telah diberi kode #BAR_CODE#.

Ketiga, scanner barcode. Scanner barcode merupakan mesin pembaca kumpulan data optic (barcode). Harganya bervariasi dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

Informasi yang tersedia

Cara mengoperasikan barcode informasi perkara sangat mudah. Buka aplikasi SIADPA terlebih dahulu, masuk ke menu penerimaan => tool => informasi perkara (barcode). Setelah aplikasi siap, para pihak cukup mendekatkan kertas yang memuat simbol barcode (SKUM, relaas panggilan, dll) ke arah scanner barcode. Secara otomatis komputer akan menampilkan informasi perkara yang dimaksud. Setiap nomor perkara mempunyai satu simbol barcode yang unik dan beda, sehingga tidak perlu ada kekhawatiran akan tertukar kodenya.

Informasi perkara yang tersedia antara lain identitas para pihak, jenis perkara, tanggal pendaftaran, tanggal sidang pertama hingga terakhir, acara persidangan, tanggal putus, tanggal dan nomor akta cerai, serta jurnal keuangan perkara. Dalam jurnal keuangan para pihak dapat melihat transaksi keuangan perkara yang meliputi panjar biaya perkara yang telah dibayar dan pengeluaran-pengeluaran yang telah dilakukan untuk keperluan penanganan perkara tersebut. (Tim TI PA Wonosari)

Rabu, Februari 04, 2009

DAFTAR NAMA PESERTA PERADILAN AGAMA YANG DINYATAKAN LULUS UJIAN TAHAP I FORMASI TAHUN ANGGARAN 2008

MAHKAMAH AGUNG RI
DAFTAR NAMA PESERTA PERADILAN AGAMA
YANG DINYATAKAN LULUS UJIAN TAHAP I
FORMASI TAHUN ANGGARAN 2008

Jabatan : CAKIM AGAMA
NO NAMA PESERTA NO. PESERTA TGL LAHIR
1 JONIFER ARA SHI 19/06/1980
2 SANYA AMALYA RIZQI 331020001 13/11/1986
3 ELFID NURFITRA M 331020002 08/06/1986
4 RIO SATRIA SHI 331020014 06/06/1986
5 RAHMI MAILIZA ANNUR 331020023 14/05/1986
6 RINALDI M 331020042 02/01/1983

Jabatan : PANITERA PENGGANTI
NO NAMA PESERTA NO. PESERTA TGL LAHIR
1 ZULHAMDI 332010007 03/09/1978
2 RAHMAIDA SUSRIANTI 332010017 11/05/1984
3 GERHANA PUTRA 332010027 11/06/1983
4 HENDRA PERDANA 332010217 30/01/1977

Jabatan : PRANATA KOMPUTER
NO NAMA PESERTA NO. PESERTA TGL LAHIR
1 WINDA OKTAVIA SKOM 332020009 12/10/1984
2 ELVIRA AMEGIA SKOM 332020275 16/12/1981
3 AHMAD RASYID SADIKI 332020281 27/11/1982
4 NURMIA LOCANA 332020346 13/11/1986

Jabatan : PENATA LAPORAN KEUANGAN
NO NAMA PESERTA NO. PESERTA TGL LAHIR
1 SELVIA 332030060 29/05/1983
2 NADIA RUSDI 332030232 18/02/1985

Jabatan : OPERATOR KOMPUTER
NO NAMA PESERTA NO. PESERTA TGL LAHIR
1 ZAKIYAH 333020008 16/08/1986

Jabatan : OPERATOR (SLTA)
NO NAMA PESERTA NO. PESERTA TGL LAHIR
1 ELHAM SAIROSI 334010092 24/10/1985
2 ELSA FAJRINA MARTA 334010264 27/03/1985

Jabatan : PEMBUKUAN
NO NAMA PESERTA NO. PESERTA TGL LAHIR
1 RATNA YOSI 334020049 20/08/1984

Jabatan : TEHNISI LISTRIK
NO NAMA PESERTA NO. PESERTA TGL LAHIR
1 GUSNITA 334050071 18/01/1985

Senin, Januari 19, 2009

ANCAMAN PEMBUNUHAN TERHADAP HAKIM PA WONOSARI

SIDANG KASUS ANCAMAN PEMBUNUHAN
TERHADAP HAKIM PA WONOSARI DIGELAR DI PN WONOSARI

(Senin, 19 Januari 2009)



PN Wonosari pada hari Senin (19/01/2008) menggelar sidang ancaman pembunuhan terhadap Hakim dan Pegawai PA Wonosari

Sidang kasus ancaman pembunuhan terhadap Hakim dan Pegawai Pengadilan Agama (PA) Wonosari dengan Terdakwa Wg, 42 tahun, yang beralamat di Bantul DI Yogyakarta, digelar di Pengadilan Negeri (PN) Wonosari pada hari Senin, 19 Januari 2009 dengan acara pemeriksaan saksi.
Persidangan kasus ancaman pembunuhan terhadap hakim PA yang digelar di PN Wonosari telah memasuki tahap pemeriksaan saksi. Pada tahap pemeriksaan saksi, Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Wonosari menghadirkan dua orang saksi dari PA Wonosari, yaitu seorang panitera muda dan seorang panitera pengganti. Majelis hakim PN Wonosari mengajukan pertanyaan kepada para saksi seputar proses cerai gugat hingga datangnya surat ancaman dari Wg. Wg yg siang itu duduk sebagai Terdakwa menyimak keterangan saksi dengan seksama.
Ketika majelis hakim mengkonfrontir keterangan saksi dengan Terdakwa Wg, Wg mengaku bahwa ia telah menulis surat ancaman tersebut karena emosi dan khilaf. Surat yang ditulis selama semalam tersebut juga diakui telah dikirim sendiri oleh Wg. Namun Wg menyatakan bahwa ia tidak mempunyai peluru sebagaimana ia tulis dalam surat ancaman.

Ancaman pembunuhan berbuah persidangan
Kasus ini berawal dari gugatan cerai yang diajukan oleh seorang perempuan, sebut saja Suminten (nama samaran) yang bertempat tinggal di Gunungkidul terhadap Wg (Bantul) ke PA Wonosari pada awal bulan Februari 2007. Selama dalam proses persidangan cerai gugat tersebut Wg sebagai Tergugat telah dua kali dipanggil dan tidak pernah hadir di persidangan meskipun ia telah dipanggil secara resmi dan patut. Singkat kata, setelah melalui pemeriksaan di persidangan akhirnya pada pertengahan bulan Maret 2007 majelis hakim mengabulkan gugatan Suminten untuk bercerai dengan Wg.
Setelah perkara cerai gugat diputus, pada awal bulan Juli 2007 Wg mengirimkan surat ancaman yang dikirim ke PA Wonosari melalui pos yang intinya Wg tidak mau bercerai dengan Suminten dan meminta majelis hakim untuk membatalkan putusannya. Apabila putusan tersebut tidak dibatalkan maka Wg akan membunuh hakim dan pegawai PA Wonosari. Dalam surat ancaman tersebut Wg juga mengatakan ia masih mempunyai 7 buah mlinjo (istilah untuk menyebut butir peluru, red). Wg juga mengaku telah mengantongi 12 nama hakim dan pegawai lengkap beserta alamat-alamatnya. Wg juga menegaskan bahwa ancaman ini tidak main-main, ia memberikan waktu 1 sampai 2 minggu kepada pihak PA Wonosari untuk mengabulkan permohonannya tersebut di atas.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, pada akhir bulan Juli 2007 pihak PA Wonosari melaporkan ancaman pembunuhan ke Polres Gunungkidul. Berdasarkan informasi dari penyidik ternyata Wg saat itu masuk dalam Target Operasi (TO) Polres Gunungkidul berkaitan dengan beberapa kasus kriminal yang terjadi di Gunungkidul. Berita tentang ancaman pembunuhan saat itu sempat menjadi headline sebuah surat kabar harian yang terbit di Yogyakarta.
Pada akhir tahun 2007 Wg akhirnya berhasil ditangkap oleh Tim dari Unit Reskrim Polres Gunungkidul dan kemudian diproses secara hukum untuk mempertanggungjawabkan berbagai rentetan tindak kriminal yang telah dilakukannya, salah satu kasus ancaman pembunuhan terhadap Hakim dan Pegawai PA Wonosari.

Pengadilan Agama juga rentan terhadap ancaman dan teror
Kasus ancaman pembunuhan terhadap hakim menunjukkan bahwa profesi hakim merupakan profesi yang berat sekaligus mulia. Hakim dituntut untuk berpegang teguh pada prinsip-prinsip hukum dan keadilan, serta mengabaikan pengaruh luar yang hendak mempengaruhi putusan yang dijatuhkan dalam bentuk apapun, termasuk ancaman pembunuhan dan teror.
Menurut Iswahyudi, SH., Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Wonosari yang dihubungi crew pa-wonosari.net mengatakan meski perkara di lingkungan peradilan agama didominasi oleh perkara perceraian namun ditinjau dari tingkat ancaman sama rentannya dengan lingkungan peradilan lain. “Pengadilan Agama justru lebih rentan dengan ancaman atau aksi teror karena perkara yang disidangkan kebanyakan menyangkut masalah rumah tangga. Masalah rumah tangga berhubungan erat dengan rasa cinta. Padahal kalau orang putus cinta ia bisa kalap (nekat, red) dan tidak terkendali seperti kasus yang menimpa Wg”, ungkap Iswahyudi sesaat setelah persidangan.
Akibat aksi nekat Wg yang mengancam hakim dan pegawai PA Wonosari tersebut, kini Wg terancam dijerat Pasal 336 ayat (2) KUHP tentang pengancaman. Dengan diprosesnya ancaman pembunuhan diharapkan menjadi pelajaran bagi siapapun untuk tidak menggunakan cara-cara kekerasan dan teror untuk memaksakan kehendaknya, sebaliknya tetap mengedepankan aspek hukum.
Kasus pembunuhan hakim di Sidoarjo beberapa tahun silam dan kasus ancaman terhadap Hakim dan Pegawai PA Wonosari, serta kasus ancaman-ancaman di daerah lain mengingatkan kita untuk lebih waspada dengan meningkatkan keamanan dalam proses persidangan, keamanan dalam proses mediasi maupun keamanan lingkungan kantor secara umum
(ahsan).