Hakim Pengadilan Agama Harus Paham KDRT
[dimuat Oleh Admin]
Untuk menguak fakta KDRT, Ketua Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta berharap para hakim pengadilan agama dibekali dengan pelatihan hukum pidana, termasuk hukum acaranya.
Enam tahun mengarungi bahtera rumah tangga, Imaniar akhirnya menggugat cerai suaminya, Max Don. Alasan yang terkuak, sebagaimana diberitakan sejumlah infotainment, adanya kekerasan psikis yang dialami biduanita era 90-an itu. Kisah rumah tangga artis lainnya seperti Five-V juga kurang lebih sama. Maia Estianty, istri pentolan grup musik Dewa Ahmad Dhani, juga tengah menuju ke akhir episode yang sama. Ada banyak figur publik yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan diberitakan secara luas.
Fenomena KDRT dalam kasus perceraian artis bisa jadi hanya secuil contoh. Berdasarkan hasil pemantauan di 43 Pengadilan Agama (PA) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat banyak kasus perceraian yang dimotivasi oleh berbagai bentuk KDRT. Berangkat dari fakta ini, Komnas Perempuan memandang hakim pengadilan agama perlu memiliki pemahaman dan pengetahuan mengenai KDRT.
Sayang, harapan Komnas Perempuan ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Untuk memahami KDRT, hakim PA tidak cukup hanya membaca dan mempelajari UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Lebih dari itu, Komnas Perempuan menyadari kesulitan hakim pengadilan agama, bagaimana memahami persoalan KDRT dalam perspektif hukum nasional sekaligus hukum islam.
Menyikapi kondisi ini, Komnas Perempuan kemudian berinisiatif untuk menerbitkan “Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga”. Buku setebal 98 halaman ini disusun setelah melalui serangkaian workshop pada tahun 2007 yang melibatkan para hakim pengadilan agama. Dengan menerbitkan buku referensi ini, Komnas Perempuan berharap putusan hakim dapat memberikan peluang keadilan, kehidupan yang lebih sejahtera dan aman bagi para korban KDRT.
“Penguasaan hakim pengadilan agama terhadap peraturan perundang-undangan akan memperluas cakrawala berpikir dan memperkaya pertimbangan hukum dan putusan majelis hakim, khususnya dalam penanganan perkara-perkara perceraian,” kata Ketua Komnas Perempuan Kamala Chandrakirana dalam acara peluncuran di Jakarta (2/7).
Langkah Komnas Perempuan menerbitkan buku referensi KDRT disambut positif oleh Mahkamah Agung (MA). Hakim Agung Abdul Ghani Abdullah menilai buku tersebut merupakan terobosan bagus untuk memperkaya wawasan hakim pengadilan agama. “Perspektifnya jangan hanya kekerasan tetapi juga kesetaraan,” pesannya.
Dalam acara yang sama, sejumlah pengamat dan pejabat peradilan agama menyatakan fenomena maraknya kasus perceraian yang diwarnai KDRT juga menyinggung kompetensi peradilan umum. Mereka cenderung sepakat unsur KDRT dalam perceraian sudah sepatutnya ditindaklanjuti dengan proses hukum. “Kalau memang terjadi KDRT, silahkan korban menindaklanjuti dengan proses hukum,” ujar Zainuddin Fajari, Direktur Pranata Tata Laksana Perkara Perdata Agama, Badan Peradilan Agama MA.
Namun, Zainuddin menegaskan proses hukum KDRT bukan lingkup kewenangan pengadilan agama. Kalaupun ditindaklanjuti, menurut Zainuddin, itu atas inisiatif korban, “Bukan pengadilan agama yang merekomen,” tambahnya.
Senada, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Andriani Nurdin juga memandang korban KDRT perlu pro aktif melapor ke polisi untuk diproses secara pidana. “Kalau ada perceraian karena KDRT itu masih wilayahnya pengadilan agama. Soal KDRT-nya, itu wilayah peradilan umum,” tukasnya. Walaupun tidak wajib, Andriani berpendapat hakim pengadilan agama boleh saja menyarankan pihak yang menjadi korban KDRT untuk melaporkan kasusnya.
Ketua Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta Nawawi Ali mengatakan bukan lingkup kewenangan tidak berarti hakim pengadilan agama berposisi pasif ketika menangani kasus perceraian yang bernuansa KDRT. Menurut Nawawi, hakim pengadilan agama harus berupaya seoptimal mungkin menguak fakta-fakta terjadinya KDRT. Bisa jadi, fakta-fakta yang terungkap nanti dapat digunakan oleh polisi untuk proses pidananya.
“Menggali fakta-fakta di persidangan itu wajib, yang dilarang menjatuhkan vonis atas KDRT itu,” ujarnya. Untuk menguak fakta-fakta KDRT, Nawawi berharap para hakim pengadilan agama dibekali dengan pelatihan hukum pidana, termasuk hukum acaranya.
(Rzk-HukumOnLine)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar