Hakim Tak Lagi Dianggap Tahu Seluruh Hukum |
Dimuat oleh Admin | |
Busyro Muqoddas menilai adagium yang menyatakan hakim harus tahu semuanya merupakan paradigma lama. “Kenyataannya, mana ada hakim yang tahu semua bidang,” tuturnya
Pernah dengar adagium ius curia novit. Adagium tersebut berarti seorang hakim dianggap mengetahui hukum. Anggota Komisi Yudisial (KY) Soekotjo Soeparto mencoba menjajal cara berpikir calon hakim agung menggunakan adagium tersebut. “Hakim katanya dianggap tahu hukum, tapi dia sering mengutip pendapat ahli dalam pertimbangannya. Bagaimana menurut Saudara,” tanya Soekotjo.
Pertanyaan-pertanyaan itu disampaikan anggota Komisi Yudisialkepada sejumlah calon hakim agung dalam proses seleksi di gedung KY, Kamis (3/7) lalu. Calon Hakim Agung RO Barita Siringoringo berpendapat tak salah bila hakim mengutip pendapat sarjana lain. “Asal yang jadi pertimbangan bukan pendapat, tetapi faktanya,” jelas Wakil Ketua PT TUN Surabaya ini.
Istiwibowo sedikit berbeda. Menurutnya pendapat seorang ahli memang bisa digunakan oleh hakim sebagai doktrin. “Itu bisa kita ambil,” ujarnya. Namun, calon hakim agung kelahiran Temanggung ini memberi syarat ahli yang pendapatnya bisa dikutip. “Ahli itu harus punya kualifikasi bidang tertentu,” tambahnya.
Soekotjo masih belum puas, dan terus mendesak calon. “Kalau ahli hukum tata usaha negara, kenapa musti anda ambil (pendapatnya),” ujarnya. Sebagai Hakim Tinggi di PT TUN Surabaya, jam terbang Istiwibowo memang tak usah diragukan lagi. Dengan pengalaman seperti itu, otomatis Istiwibowo juga bisa disebut sebagai ahli hukum tata usaha negara. Namun, Istiwibowo tetap bersikukuh pendapat seorang ahli bisa saja diambil hakim sebagai pertimbangan hukumnya.
Dalam praktek, hal ini memang acapkali dipermasalahkan. Salah satunya, dalam kasus dugaan korupsi Koperasi Distribusi Indonesia (KDI) dengan terdakwa Nurdin Halid di PN Jakarta Selatan beberapa waktu lalu. Majelis hakim I Wayan Rena, Ahmad Sobari dan Mahmud Rachimi, menyatakan dalam kasus ini tak ditemukan unsur melawan hukum baik dari segi formil maupun materil. Ketua Umum PSSI itu pun divonis bebas.
Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tak terima. Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) telah menggelar eksaminasi publik terhadap putusan tersebut. Salah satu yang dijadikan landasan untuk mengeksaminasi putusan tersebut adalah adagium ius curia novit. Majelis hakim PN Jakarta Selatan yang memeriksa perkara ini dianggap melanggar asas tersebut.
“Adanya keterangan beberapa orang ahli hukum pidana dalam persidangan perkara pidana korupsi ini adalah suatu kekeliruan. Karena segala sesuatu yang menyangkut penerapan hukum adalah tugas hakim. Hal tersebut sebenarnya tidak diperbolehkan dengan adanya asas ius curia novit, karena hakim dianggap mengetahui hukum, kecuali ahli di bidang lain dan sistem hukum asing yang tidak dikenal,” demikian bunyi salah satu kesimpulan eksaminasi publik itu.
Paradigma Lama Dihubungi hukumonline melalui sambungan telepon, Ketua KY Busyro Muqoddas menjelaskan pertanyaan seputar ius curia novit yang dilontarkan hanya untuk menggeledah pemikiran para hakim saja. “Kita menggeledah saja sampai mana kemampuannya,” jelas Busyro, Jumat (4/7)
Busyro menilai orang yang masih menganggap seorang hakim harus tahu segalanya merupakan paradigma lama. “Mana ada hakim yang tahu segalanya. Tak mungkin,” tegas mantan Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia ini.
Dalam praktek, lanjut Busyro, di MA memang sering ada masalah ketika seorang hakim dianggap mengetahui semua bidang. Ia mencontohkan seorang hakim agung berlatar belakang agama mengadili kasus Pilkada Sulawesi Selatan (Sulsel) yang syarat dengan isu Hukum Tata Negara (HTN). Hakim agama mengadili Tommy Soeharto atau Hakim TUN mengadili Akbar Tanjung. “Semua itu bermasalah,” ujarnya.
Karenanya, Busyro menilai kehadiran seorang ahli dalam persidangan bukan hal yang tabu. Bahkan, untuk seorang ahli yang memiliki keahlian sama dengan si hakim. Namun, hal tersebut masih ada rambu-rambunya. Hakim tak boleh membabi buta mengikuti pendapat ahli.
Sekedar perbandingan, di Mahkamah Konstitusi (MK) justru sebaliknya. Ketua MK Jimly Asshiddiqie berulangkali mengatakan persidangan MK tak perlu terlalu banyak ahli hukum tata negara (HTN). Alasannya sederhana, karena para hakim konstitusi yang bercokol di Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6 ini mayoritas merupakan pakar atau berlatar belakang hukum tata negara.
Busyro menilai problem yang dimiliki oleh MA karena tak adanya sistem kamarisasi penanganan perkara. Sehingga seorang hakim bisa menangani perkara yang berbeda dengan latar belakang keilmuannya. Apalagi, lanjut Busyro, ide kamarisasi ini tak bisa serta merta diterapkan. Ia mengatakan kamarisasi tak mungkin diterapkan selama pendidikan sarjana hukum atau hakim tak didesain menciptakan hakim yang specialis. “Kalau mau ke arah sana, harus ada revisi kurikulum,” pungkasnya. (sumber: HukumOnline) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar