Pertemuan AusAID & Badilag
Dimuat oleh Admin
Monday, 20 October 2008
AusAID dan Badilag Bicarakan Program 5 Tahun Mendatang
Dirjen Badilag : "Peningkatan pelayanan pencari keadilan masih menjadi prioritas"
JAKARTA | badilag.net (20/10)
Australian Agency for International Development (AusAID) menggelar pertemuan dengan pihak Ditjen Badilag, Senin sore (20/10). Dalam pertemuan yang dilangsungkan di ruang rapat Ditjen Badilag, kedua belah pihak membicarakan program peningkatan pelayanan hukum di lingkungan peradilan agama untuk masa lima tahun mendatang. Selain itu, dalam pertemuan penuh persahabatan yang berlangsung 1 jam ini dilakukan pula kilasan evaluasi program yang sudah bergulir.
Dari pihak AusAID hadir Nerida Dalton (First Secretary Democratic Governance) dan Piter Edward (Program Manager Legal Governance). Mereka didampingi para konsultan yang terdiri dari Prof. Tim Lindsey (Guru Besar Melbourne University, Legal Advisor), Glenn Crannage (Design Specialist, Team Leader), Paul Crawford (M&E Specialist), Daniel Rowland (AusAID legal Advisor), dan Bivitri Susanti (indonesia Legal Specialist). Sedangkan dari Ditjen Badilag hadir Wahyu Widiana (Dirjen Badilag), Farid Ismail (sekretaris Ditjen) dan Asep Nursobah (Kasubag Dokumentasi dan Informasi).
Perwakilan AusAID, Nerida Dalton "duduk bersama" Dirjen Badilag membicarakan program kerjasama untuk peradilan agama lima tahun mendatang
Ditanya soal program prioritas lima tahun kedepan oleh Glenn Crannege, Wahyu menjelaskan bahwa Ditjen Badilag masih menempatkan peningkatan pelayanan kepada para pencari keadilan sebagai program prioritas.
Menurut Wahyu, kondisi pelayanan yang baik hanya akan lahir dari efektifnya sistem administrasi peradilan. Untuk itu, tegas Wahyu, program ini harus didukung oleh ketersediaan sumber daya manusia yang menguasai administrasi peradilan, teknologi informasi, sistem komunikasi dan public relation yang baik.
“Kami sangat memerlukan dukungan untuk menyelenggarakan pelatihan-pelatihan yang akan meningkatkan capacity building bagi SDM peradilan agama”, ungkap Dirjen Badilag.
Tentang pemberdayaan teknologi informasi, Ia menilai bahwa IT menjadi syarat bagi terwujudnya modernitas pengadilan. Ia pun mengemukakan bahwa sesuai tema rakernas MARI 2008, pengadilan di Indonesia diarahkan menjadi pengadilan yang modern. “Meski tidak semata-mata modernitas pengadilan itu berarti penerapan TI, tapi kehadiran IT di pengadlan menjadi satu bagian yang tidak boleh diabaikan”, ungkapnya.
Wahyu pun mengakui bahwa implementasi teknologi informasi ataupun program client service improvement di peradilan agama banyak didorong oleh pengalaman Family Court of Australia yang telah lebih dahulu menempuhnya.
Image
“Melalui program LDF yang dibiayai AusAID, kami diberi kesempatan untuk belajar pemanfaatan teknologi informasi dalam pelayanan peradilan. Dan terakhir kami pun diberi kesempatan untuk melihat secara langsung implementasi client service improvement di FCoA”, katanya.
Wahyu sangat mengharapkan kepada para alumni short course di Australia untuk benar-benar menerapkan hasil studinya di satuan kerja masing-masing, setelah disesuaikan dengan konteks ke-Indonesiaan.
Hasil Survey, base line data
Untuk meningkatkan pelaksanaan pelayanan kepada pencari keadilan ini, Dirjen Badilag mengemukakan bahwa fihaknya sangat terbantu dengan hasil survey tentang akses dan kesetaraan peradilan agama (religious courts access and equity survey). Hasil survey, kata Wahyu, menjadi base line data bagi proses pembaharuan di peradilan agama.
Dirjen pun kembali mengungkapkan lima hal yang harus ditindaklanjuti dari hasil survey. Kelima hal tersebut adalah : anggaran prodeo, prosedur acara secara prodeo, sidang keliling, informasi yang lebih baik tentang prosedur berperkara di pengadilan, dan peningkatan pelayanan terhadap pengguna pengadilan.
Mediasi menjadi arus utama
Disamping program peningkatan pelayanan kepada para pencari keadilan, Dirjen Badilag menegaskan bahwa mediasi kini menjadi arus utama pemikiran hukum yang berkembang dalam sistem hukum di Indonesia. Oleh karena itu, hal ini pun harus menjadi perhatian peradilan agama. Sebagaimana yang telah berjalan di FCoA, peradilan di Indonesiapun menghendaki kecilnya perkara yang diselesaikan melalui jalur litigasi. "Ketua MA menginginkan bahwa perkara-perkara dapat diselesaikan tanpa harus ke pengadilan. Kalaupun harus masuk ke pengadilan, upaya mediasi harus dimaksimalkan", ungkap Dirjen Badilag mengutip pernyataan Ketua MA
Oleh karana itu dalam Perma 1 Tahun 2008, Ketua MA menegaskan bahwa perkara yang dalam proses pemeriksaannya tidak menempuh prosedur mediasi, harus dinyatakan batal demi hukum. Oleh karena itu, pelatihan-pelatihan tentang mediasi harus mendapat porsi yang cukup dan menyentuh sebanyak-banyaknya hakim di lingkungan peradilan agama. “mediasi pun menjadi pehatian kami untuk lima tahun mendatang” ungkap Dirjen kepada delegasi Aus AID. ( asnoer@badilag.netAlamat email ini telah dilindungi dari spam bots, Javascript harus aktif untuk melihatnya )
Terakhir diperbaharui ( Wednesday, 22 October 2008 )
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar